Loading
Windu kedua menjadi titik balik penting dalam sejarah pengelolaan Sungai Brantas. Pada tahun 1970, pembangunan Bendungan Selorejo diresmikan sebagai bendungan pertama yang berdiri di kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas. Dengan daya tampung mencapai 62 juta meter kubik, bendungan ini tidak hanya mampu meredam banjir hingga debit 1.600 meter kubik per detik, tetapi juga menghasilkan listrik dari Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) berkapasitas 1 megawatt. Selain itu, Selorejo mendukung sistem irigasi seluas 14.000 hektare, yang menandai lahirnya era baru: pengelolaan air yang terpadu dan berkelanjutan.
Tata Letak Bendungan Selorejo
Meski dibangun dengan teknologi yang relatif sederhana, Bendungan Selorejo lahir dari kombinasi kekuatan lokal dan dukungan internasional. Dengan tinggi 47 meter, desainnya yang inovatif berhasil menjawab tantangan medan dan derasnya aliran sungai. Proyek ini mencerminkan semangat adaptif dan visi jangka panjang. Kehadirannya disambut hangat oleh masyarakat Kabupaten Malang—sawah-sawah menjadi subur, desa-desa mulai terang, dan rasa aman pun tumbuh. DAS Brantas mulai menunjukkan wajah barunya sebagai sumber penghidupan, bukan lagi ancaman.
Langkah besar berikutnya terjadi pada 2 Mei 1972, ketika Presiden Soeharto meresmikan Bendungan Sutami (dulu dikenal sebagai Karangkates). Dengan kapasitas tampung 343 juta meter kubik, bendungan ini secara signifikan menurunkan potensi banjir, dari semula 4.200 menjadi 1.600 meter kubik per detik. Setahun setelah peresmian, PLTA Karangkates mulai beroperasi dengan kapasitas 70 megawatt, menghasilkan energi hingga 400 juta kilowatt-hour per tahun. Ini adalah cahaya baru—secara harfiah dan simbolik—yang menyinari kehidupan masyarakat di sekitarnya.
PLTA Karangkates
Pembangunan Bendungan Sutami merupakan hasil kolaborasi antara pemerintah Indonesia dan Jepang, dengan total anggaran Rp 9,97 miliar dari APBN dan tambahan bantuan luar negeri senilai US$27,65 juta. Perusahaan Jepang, Kajima Construction dan Nippon Koei, kembali menjadi mitra strategis dalam pembangunan infrastruktur yang kokoh dan berdampak luas. Bendungan ini menyuplai air ke lebih dari 34.000 hektare lahan pertanian, menjadikan DAS Brantas sebagai kawasan yang semakin produktif dan aman dari bencana.
Windu kedua juga menandai dimulainya kesadaran akan pentingnya pemeliharaan. Sistem pemantauan awal seperti alat pengukur muka air mulai diterapkan, dan Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Brantas menjalankan pengawasan operasional dengan sigap. Dengan landasan teknis dan semangat kolaboratif yang kuat, Windu ini ditutup dengan semangat optimisme: dari fondasi yang kokoh ini, langkah besar menuju kejayaan dan keberlanjutan Brantas mulai terbentang luas.